
Diceritakan pada suatu hari ada seorang yang sering melakukan perbuatan
tidak baik, sedang duduk di halte bus. Duduk dengan keadaan gelisah dan
seakan-akan mencari suatu jawaban. Pria tersebut terus-menurus bersikap
demikian, hingga penumpang lainnya yang sedang menunggu bus juga merasa khawatir,
ketakutan, dan menjaga jarak terhadap pria itu, kecuali pria yang berpenampilan
mahasiswa, tidak pindah dari tempat duduknya. Sejenak mahasiswa tersebut
terbesit di dalam hatinya, mengapa para penunggu bus lainnya berpindah tempat
duduk? Karena mengetahui penumpang yang tadinya duduk di sampingnya beranjak
pindah ke tepian tempat duduk halte bus. Kemudian mahasiswa tersebut menoleh di
sebelah samping kanannya, ternyata ada seorang yang penampilannya seperti
preman pasar sedang memikirkan sesuatu. Namun saat mahasiswa itu kembali ke dunianya
sendiri, bergelut dengan paparan materi dari dosen melalui Zoom, ia tidak
sengaja melihat di tengkuk pria tersebut, seperti tanda lahir atau semacamnya.
Sontak ia teringat kepada teman kampung yang ia sering jumpai di tempat
pengajian di musholla tempat ia mendapati ilmu agama dahulu. Akhirnya,
dengan rasa penasaran yang bergejolak, ia memberanikan diri memulai percakapan.
“Mas Satria ya?” Tanya mahasiswa tersebut.
“Iya kenapa? lu siapa? Ada perlu apa dengan gua?” Jawabnya dengan penuh
kesal, angkuh, dan merasa risi kepada mahasiswa itu disertai dengan intonasi
tinggi. “Nih orang apa gak takut deket-deket ama gue. Oh, mungkin belum tau nih
orang, kalau gua preman pasar.” Batin Satria.
“Yaelah, slow aja kenapa kali Bang Satria, masak sama yang pernah
belajar mengaji ke sampean udah kayak orang mau Open War. Ini gua Bang,
si Syaiful anaknya si Ilman tetangga sebelah rumah sampean.” Kata si Syaiful
dengan ekspresi seperti orang yang baru pertama kali bertemu dari sekian tahun
tidak bertemu.
“Eh, elu Pul, kirain siapa, hehe. Sorry-sorry ya, tadi gua agak
kelewatan ama elu, soalnye gua lagi mikirin soal yang belum gua temukan sebab
tidur gua tadi pagi.” Jelas Bang Satria
“Sampean mimpi? Mimpi apa Bang Satria, apa jangan-jangan sampean diberi
isyarat mau dijodohi ama si putri pak ustadz sebelah ye?” Kata Syaiful dengan
nada menggoda dan menunjuk rumah pak ustadz yang dimaksud.
“Yee, elu mah pikirannya nikah-nikah terus, terus bini lu mau dimakanin
cinta tok? Makan tuh cinta sampek kurus bini lu. Mimpi gua bukan itu, Cuy. Tapi
mimpi gua tuh, gua mimpi, gua jadi pengemis duduk di pinggiran tempat cukur.
Terus setiap orang yang melewati tempat gua duduk menyarankan gua masuk ke dalam
tukang cukur rambut. Gua pertama gak ngerti apa yang mereka ngomong. Kemudian gua
sadar ternyata mereka mengatakan rambut gua super berantakan. Kemudian ketika
gua mau masuk ke dalam, gua terbangun. Tetapi serius, menurut lu mimpi gua itu
apaan sih, gua mulai tadi penasaran”. Jelas Bang Satria apa yang ia alami tadi.
Kemudian sebelum menjawab pertanyaan Bang Satria, Syaiful mengalihkan posisi
kamera Hp-nya ke bawah dan mematikan voice Zoom, karena materi yang
dijelaskan oleh dosen masih berlangsung.
“Hmm.. gimana ya, Bang, karena gua bukan tukang tafsir mimpi, jadi gua
ngambil dari segi positifnya saja ya. Jadi, menurut sudut pandang gua, Bang,
mimpi sampean itu menunjukan kesempatan kepada sampean untuk mengubah keadaan sampean,
baik dari penampilan luar dan penampilan dalam. Dalam artian penampilan luar
itu, busana yang sampean kenakan saat ini dan penampilan dalam itu sifat karakter
sampean yang masih dikategorikan proses menuju kebaikan. Kesempatannya dengan
apa? Yaitu dengan mendekatkan diri kepada Tuhan. Jadi, inti dari study
kasus mimpi sampean itu, meski kita telah terjebur ke jurang kemaksiatan dan
dosa lainnya, kita masih punya Tuhan yang Maha Mengampuni segala dosa yang kita
miliki setiap detik, setiap menit, setiap jam, setiap hari, setiap minggu,
setiap bulan hingga setiap tahun, baik sengaja atau tidak. Oleh karenanya, kita
jangan malu untuk bermunajat kepada yang Maha Esa, meski telah berlumuran dosa,
untuk menyesali perbuatan kita.” Ungkap Syaiful dengan gamblang. Spontan teman
Syaiful, yaitu Satria tak kuasa menahan air matanya dan menangis seraya
mengucapkan terima kasih kepada Syaiful dan meninggalkannya. Dan terjawablah
keingintahuan Satria akan tabir mimpinya, dan ternyata mimpi yang ia alami
sebagai isyarat agar ia kembali menuju ke jalan yang benar, yang pernah dulu
tinggalkan.
*Redaktur LPMI
Mantap bre, lanjutkan
Mantap bre